Opini

715

KUHP (WvS) DALAM PERSPEKTIF PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN PEMILU DAN/ATAU PEMILIHAN (Telaah Yuridis-Teoritis Adegium “Lex Specialis Derogat Legi Generalis”)

KUHP (WvS) DALAM PERSPEKTIF PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN PEMILU DAN/ATAU PEMILIHAN (Telaah Yuridis-Teoritis Adegium “Lex Specialis Derogat Legi Generalis”) Oleh :   YUDDIN CHANDRA NAN ARIF, SH.MH. (Divisi Hukum & Pengawasan KPU Kabupaten Bima) (email : ycnakerajaan@ymail.com) (blogsite : www.republik-ycna.weebly.com)     Ketentuan pidana/delik Pemilu dan/atau Pemilihan yang terdapat dalam KUHP (WvS) (1) telah di adopsi dalam Peraturan Perundang-undangan Pemilu dan/atau Pemilihan (Undang-undang No. 8 Tahun 2012 Tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, Undang-undang Nomor 42 Tahun 2008 Tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden, dan Undang-undang Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota menjadi Undang-undang sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 8 Tahun 2015 Tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota menjadi Undang-undang), hanya saja Posisi KUHP (WvS) dalam perspektif peraturan perundang-undangan Pemilu dan/atau Pemilihan harus ditempatkan dengan menggunakan adegium lex specialis derogat legi generalis. KUHP (WvS) sebagai payung utama hukum pidana Indonesia harus diposisikan sebagai lex generalis, sedangkan peraturan perundang-undangan Pemilu dan/atau Pemilihan sebagaimana disebutkan di atas harus diposisikan sebagai lex specialis. Makna hukumnya bahwa keberlakuan peraturan perundang-undangan Pemilu dan/atau Pemilihan adalah bersifat “khusus” dalam penanganan tindak pidana/delik Pemilu dan/atau Pemilihan, sehingga dapat mengenyampingkan keberlakuan KUHP (WvS) yang bersifat “umum”, terkecuali di luar unsur-unsur tindak pidana/delik Pemilu dan/atau Pemilihan yang masuk dalam kategori tindak pidana/delik umum. Penjabaran argumentasi hukumnya secara normatif adalah dengan melihat ketentuan Pasal 63 ayat (2) KUHP (WvS) mengatur bahwa : “Jika suatu perbuatan masuk dalam suatu aturan pidana yang umum, diatur pula dalam aturan pidana yang khusus, maka yang khusus itulah yang diterapkan”. Pasal 63 ayat (2) KUHP (WvS) ini menegaskan keberlakuan (validitas) aturan pidana yang khusus ketika mendapati suatu perbuatan yang masuk, baik ke dalam aturan pidana yang umum dan aturan pidana yang khusus. Dalam ketentuan Pasal 63 ayat (2) KUHP (WvS) terkandung adagium lex specialis derogat legi generalis yang merupakan suatu asas hukum yang mengandung makna dasar bahwa aturan yang bersifat khusus (specialis) mengesampingkan aturan yang bersifat umum (general) sebagaimana dijelaskan di atas. Berdasarkan asas lex specialis derogat legi generalis, aturan yang bersifat umum itu tidak lagi memiliki “validity” sebagai hukum ketika telah ada aturan yang bersifat khusus, aturan yang khusus tersebut sebagai hukum yang valid, yang mempunyai kekuatan mengikat untuk diterapkan terhadap peristiwa-peristiwa konkrit. Menentukan suatu aturan yang berifat khusus itu (lex specialis, berpangkal tolak dari metode deduktif (dari yang khusus ke yang umum). Aturan yang bersifat khusus itu dibandingkan dengan aturan umumnya dengan mengidentifikasikan sifat-sifat umum yang terkandung dalam aturan yang bersifat khusus itu. Sifat-sifat umum ketentuan tersebut dapat diketahui dengan memahami secara baik aturan yang bersifat umum tersebut. Sehingga ditemukan aturan yang khusus (lex specialis) berisi hal-hal yang bersifat umum yang ditambah hal lainnya (yang merupakan kekhususannya). Suatu aturan hukum yang tidak memuat norma yang hakekat adressat-nya tertuju pada perlindungan benda-benda hukum yang umum ditambah sifat khususnya, maka tidak dapat dikatakan sebagai lex specialis, oleh karena dalam aturan yang bersifat khusus terdapat keseluruhan ciri-ciri (kenmerk) atau kategoris dari aturan yang bersifat umum (lex generalis) dan ditambahkan ciri-ciri baru yang menjadi inti kekhususannya itu (2). Terkait dengan logika dan konstruksi berpikir yuridis tersebut, Paul Scholten menyatakan bahwa : Hukum itu merupakan suatu sistem, bahwa semua peraturan-peraturan itu saling berhubungan yang satu ditetapkan oleh yang lain, bahwa peraturan-peraturan tersebut dapat disusun secara mantik dan untuk yang bersifat “khusus” dapat dicari aturan-aturan “umumnya”, sehingga sampailah pada asas-asas. Tapi ini tidaklah berarti bahwa dengan bekerja secara mantik semata-mata untuk tiap-tiap hal dapat dicarikan keputusan hukumnya. Sebab disamping pekerjaan intelek, putusan itu selalu didasarkan pada penilaian yang menciptakan sesuatu yang baru (3). Dalam konteks ini, pandangan tersebut menegaskan bahwa penempatan aturan-aturan yang sifatnya lex specialis (peraturan perundang-undangan Pemilu dan/atau pemilihan) dengan lex generalis (KUHP (WvS)) pada penerapan asas-asas secara normatif, tetapi secara filosofis pada nilai-nilai dasar dan/atau norma dasar tetap memiliki keterkaitan dan hubungan hukum pada penemuan-penemuan hukum yang baru. Hal tersebut juga menjelaskan bahwa meskipun demikian, KUHP (WvS) dalam posisinya sebagai lex generalis, tetapi KUHP (WvS) merupakan payung utama hukum pidana Indonesia yang telah meletakkan dasar-dasar perumusan tindak pidana/delik (dalam KUHP (WvS) disebut sebagai “kejahatan”) Pemilu dan/atau pemilihan dalam rumusan norma pasal-pasalnya untuk dapat diadopsi dan dielaborasikan lebih lanjut, spesifik, dan terperinci berdasarkan nilai-nilai hukum responsif yang terus tumbuh dan berkembang seiring kemajuan peradaban dan pola pikir masyarakat modern. Hal ini memiliki nilai filosofis dengan doktrin volksgeist yang dicetuskan oleh Friedrich Carl von Savigny (madzhab hukum sejarah) bahwa Hukum tidak dibuat, melainkan timbul dan berkembang bersama masyarakat. Hukum merupakan ekspresi dan semangat jiwa rakyat (volksgeist). Kemudian dalam ilmu hukum modern, doktrin volksgeist digantikan oleh solidaritas sosial (solidarité sociale). Inilah yang menurut Léon Duguit disebut sebagai hukum obyektif (droit objectif) yang merupakan implikasi dari solidaritas sosial. Doktrin tentang volksgeist dan doktrin solidarité sociale adalah variasi dari doktrin hukum yang ada, yang memiliki karakteristik dualisme antara suatu hukum “sebenarnya” dengan hukum positif. Untuk dipahami secara teoritik, bahwa terdapat beberapa prinsip yang harus diperhatikan dalam adegium lex specialis derogat legi generalis, yaitu :          Ketentuan-ketentuan yang didapati dalam aturan hukum umum tetap berlaku, kecuali yang diatur khusus dalam aturan hukum khusus tersebut;          Ketentuan-ketentuan lex specialis harus sederajat dengan Ketentuan-ketentuan lex generalis (undang-undang dengan undang-undang);          Ketentuan-ketentuan lex specialis harus berada dalam lingkungan hukum (rezim) yang sama dengan lex generalis (4). Merajut dan membagun konstruksi berpikir hukum berdasarkan uraian-uraian teoritik dan normatif tersebut di atas, maka harus menempatkan hukum sebagai sebuah sistem yang saling komplementer dan harmonisasi dalam melengkapi satu sama lainnya. Hal ini didasarkan pada ketentuan Pasal 103 KUHP (WvS), yang menentukan : “Ketentuan ini berlaku bagi perbuatan-perbuatan yang oleh ketentuan perundang-undangan yang lain diancam pidana, kecuali jika oleh undang-undang itu ditentukan lain”. Maksudnya adalah ketika di peraturan perundangan-undangan khusus (termasuk peraturan perundang-undangan Pemilu dan/atau Pemilihan) lainnya (lex specialis) tidak mengatur beberapa/sebagian rumusan/klausul ketentuan pidananya, maka dapat diterapkan/dikembalikan ke KUHP (WvS) sebagai lex generalis. Hal ini sebagai bentuk pemaknaan secara yuridis untuk menghindari terjadinya kekosongan hukum dalam perbuatan-perbuatan konkret. Sehingga, ketentuan Pasal 63 ayat (2) dan Pasal 103 KUHP (WvS) memiliki hubungan rumusan norma yang dalam ilmu perundang-undangan dikenal dengan penafsiran sistematik, juga termasuk dalam bentuk penafsiran holistik (5). Ketentuan Pasal 63 ayat (2) KUHP (WvS) tidak hanya berlaku ketika mencermati peristiwa konkrit yang dihadapkan pada aturan-aturan tentang tindak pidana, pertanggungjawaban pidana dan pemidanaan yang terdapat dalam KUHP (WvS), tetapi juga terhadap hal yang sama yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan di luar KUHP (konteks peraturan perundang-undangan Pemilu dan/atau Pemilihan) dihadapkan dengan KUHP itu sendiri, atau lebih jauh lagi terhadap dihadapkannya dua atau lebih undang-undang di luar KUHP. Sepanjang suatu peraturan perundang-undangan memuat aturan pidana yang khusus, maka mengenai hal yang sama yang secara umum diatur dalam KUHP (atau undang-undang di luar KUHP yang memiliki sifat lebih umum), menjadi tidak absah dalam arti tidak lagi valid. Untuk dapat dipahami secara umum bahwa lex specialis (konteks peraturan perundang-undangan Pemilu dan/atau Pemilihan) bertujuan untuk mengisi kekurangan atau kekosongan hukum yang tidak tercakup pengaturannya dalam lex generalis (dalam hal ini KUHP (WvS)), namun dengan pengertian bahwa pengaturan itu masih tetap dan berada dalam batas-batas yang diperkenankan oleh hukum pidana formil dan materiil. Dari urian-uraian tersebut diatas, dasar logika hukum dalam melihat KUHP (WvS) dalam kacamata peraturan perundang-undangan Pemilu dan/atau Pemilihan adalah berdasarkan adagium lex specialis derogat legi generalis bahwa KUHP (WvS) sebagai payung utama hukum pidana Indonesia harus diposisikan sebagai lex generalis, sedangkan peraturan perundang-undangan Pemilu dan/atau Pemilihan sebagaimana disebutkan di atas harus diposisikan sebagai lex specialis, dengan tetap menempatkan hukum sebagai sebuah sistem yang saling komplementer dan berharmonisasi dalam melengkapi satu sama lainnya.           FOOTNOTE   (1)     Lihat tulisan saya “Delik Pemilu dan/atau Pemilihan Dalam KUHP (WvS) yang Diadopsi Oleh Perundang-Undangan Pemilu dan/atau Pemilihan (Sekedar Catatan Singkat Hukum Pidana)” di laman/website KPU Kabupaten Bima : https://kab-bima.kpu.go.id/delik-pemilu-danatau-pemilihan-dalam-kuhp-wvs-yang-diadopsi-oleh-perundang-undangan-pemilu-danatau-pemilihan-sekedar-catatan-singkat-hukum-pidana/ (2)     http://alviprofdr.blogspot.co.id/2013/07/asas-lex-specialis-derogat-lege.html (3)     Muhamad Mujahidin, Aliran-Aliran Hukum, diakses dari http://mujahidinimeis.wordpress.com/2010/05/05/aliran-aliran-hukum/, Juni 2012. Lihat juga tulisan saya di Jurnal IUS Magister Ilmu Hukum Universitas mataram (Kajian Hukum dan keadilan) Nomor 1, Vol. 1, Januari-April 2013, Hal., 115-129. (4)     Bagir Manan, Hukum Positif Indonesia, FH UII Press, Yogyakarta, 2004, Hal., 56. (5)     Uraian tentang penafsiran-penafsiran hukum (termasuk penafsiran sistematik dan penafsiran holistik) dapat dilihat di buku saya Kebijakan Hukum Pidana dan Penanggulangan Kejahatan Mayantara (Cyber Crime) Khususnya Kejahatan Hacking, Cet. I, Genta Press, Yogyakarta, 2014, Hal., 94-104.   DAFTAR PUSTAKA   Bagir Manan, Hukum Positif Indonesia, FH UII Press, Yogyakarta, 2004. Hans Kelsen, Teori Umum Tentang Hukum dan Negara, Cet. 4, Nusa Media, Bandung, 2009. https://kab-bima.kpu.go.id/delik-pemilu-danatau-pemilihan-dalam-kuhp-wvs-yang-diadopsi-oleh-perundang-undangan-pemilu-danatau-pemilihan-sekedar-catatan-singkat-hukum-pidana/ http://alviprofdr.blogspot.co.id/2013/07/asas-lex-specialis-derogat-lege.html I Gde Pantja Astawa dan Suprin Na’a, Dinamika Hukum dan Ilmu Perundang-Undangan di Indonesia, Alumni, Bandung, 2008. Jimly Asshiddiqie, Perihal Undang-Undang, Rajawali Pers, Jakarta, 2010. Jurnal IUS Magister Ilmu Hukum Universitas mataram (Kajian Hukum dan keadilan) Nomor 1, Vol. 1, Januari-April 2013, Hal., 115-129. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) (Wetboek van Srafrecht (WvS)). Muhamad Mujahidin, Aliran-Aliran Hukum, diakses dari http://mujahidinimeis.wordpress.com/2010/05/05/aliran-aliran-hukum/, Juni 2012. R. Soeroso, Pengantar Ilmu Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, 2006. Rosjidi Ranggawidjaja, Pengantar Ilmu Perundang-Undangan Indonesia, Cet. 1, Mandar Maju, Bandung, 1998. Yuddin Chandra Nan Arif, Kebijakan Hukum Pidana dan Penanggulangan Kejahatan Mayantara (Cyber Crime) Khususnya Kejahatan Hacking, Cet. I, Genta Press, Yogyakarta, 2014.


Selengkapnya
813

DELIK PEMILU DAN/ATAU PEMILIHAN DALAM KUHP WvS YANG DIADOPSI OLEH PERUNDANG-UNDANGAN PEMILU DAN/ATAU

YUDDIN CHANDRA NAN ARIF, SH.MH. (Divisi Hukum & Pengawasan KPU Kabupaten Bima)   Induk/payung peraturan hukum pidana di Indonesia adalah Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP). Nama asli dari KUHP ini adalah Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch Indie (WvSNI) yang diberlakukan di Indonesia pertama kali dengan Koninklijk Besluit (Titah Raja) Nomor : 33, 15 Oktober 1915 dan mulai diberlakukan sejak tanggal 1 Januari 1918. Setelah Indonesia menyatakan kemerdekaannya pada Tahun 1945, untuk mengisi kekosongan hukum pidana yang diberlakukan di Indonesia maka dengan dasar Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945, WvSNI tetap diberlakukan. Pemberlakuan WvSNI menjadi hukum pidana ini menggunakan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1946 Tentang Peraturan Hukum Pidana di Indonesia. Dalam Pasal VI Undang-undang Nomor 1 Tahun 1946 disebutkan bahwa nama Wetboek van Srafrecht voor Nederlandsch Indie (WvSNI) diubah menjadi Wetboek van Srafrecht (WvS) dan dapat disebut Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP). Oleh karena perjuangan bangsa Indonesia belum selesai pada Tahun 1946 dan munculnya dualisme KUHP setelah tahun tersebut, maka pada Tahun 1958 dikeluarkan Undang-undang Nomor 73 Tahun 1958 yang memberlakukan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1946 bagi seluruh wilayah Republik Indonesia. Berdasarkan Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945 jo. Pasal 192 Konstitusi RIS 1949 jo. Pasal 142 UUDS 1950, maka sampai kini masih diberlakukan KUHP yang lahir pada tanggal 1 Januari 1918. Perubahan yang penting dari KUHP ciptaan dan warisan Belanda tersebut diadakan dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946. Dengan KUHP itu, maka mulai 1 Januari 1918 berlakulah satu macam Hukum Pidana untuk semua golongan penduduk Indonesia (unifikasi Hukum Pidana). Yang menarik dan menjadi perhatian khusus dalam tulisan ini adalah terkait dengan dimuatnya norma-norma pasal yang berkaitan dengan delik Pemilihan Umum (Pemilu) dan/atau Pemilihan di dalam KUHP (WvS) tersebut. Pasal-Pasal tersebut sudah ada sejak diberlakukannya di Indonesia pertama kali dengan Koninklijk Besluit (Titah Raja) Nomor : 33, 15 Oktober 1915 dan mulai diberlakukan sejak tanggal 1 Januari 1918, yang otomatis Indonesia masih dijajah oleh Belanda sehingga praktis Pemilu dan/atau Pemilihan belum ada. Tampaknya ketentuan dalam WvSNI Belanda diambil begitu saja untuk Hindia Belanda, oleh karena di Negeri Belanda memang sudah dilaksanakan Pemilu dan/atau Pemilihan pada masa itu. Di Indonesia, Pemilu Nasional barulah dilaksanakan sesudah Indonesia merdeka, tepatnya di Tahun 1955 yang merupakan Pemilu Nasional pertama. Delik Pemilu dan/atau Pemilihan di dalam KUHP (WvS) dapat dilihat dalam Buku Kedua Tentang Kejahatan Bab IV Kejahatan Terhadap Melakukan Kewajiban dan Hak Kenegaraan, yaitu Pasal 148, Pasal 149, Pasal 150, Pasal 151, dan Pasal 152. Adapun delik-delik Pemilu menurut ketentuan pasal-pasal KUHP (WvS) tersebut meliputi : Merintangi Orang Menjalankan Haknya Dalam Memilih (Pasal 148 KUHP (WvS)) Delik menghalangi orang lain mempergunakan hak pilihnya dalam suatu pemilihan dengan bebas dan secara tidak terganggu yang diatur dalam Pasal 148 KUHP (WvS) tersebut terdiri dari unsur-unsur sebagai berikut : Unsur subjektif : opzettelijk, artinya dengan sengaja; Unsur objektif : Pada waktu diadakan pemilihan berdasarkan sesuatu peraturan umum; Dengan kekerasan atau dengan ancaman kekerasan; Menghalangi atau merintangi seseorang; Mempergunakan hak pilihnya dengan bebas dan secara tidak terganggu (Lamintang, Delik?Delik Khusus: Kejahatan?Kejahatan Terhadap Kepentingan Hukum Negara, 1987, Hal., 344). Ancaman pidananya tunggal-maksimum yaitu pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun 4 (empat) bulan. Suap Menyuap (Pasal 149 KUHP (WvS)) Delik yang diatur dalam Pasal 149 KUHP (WvS) itu hanya melekat unsur-unsur objektif, masing-masing yakni : Pada waktu diselenggarakan pemilihan berdasarkan sesuatu peraturan umum; Menyuap orang lain dengan pemberian atau janji; Agar orang lain tersebut tidak mempergunakan hak pilihnya atau agar ia mempergunakan hak pilihnya dengan cara tertentu (, Hal., 357). Tipu Muslihat Pada Suara Pemilih (Pasal 150 KUHP (WvS)) Delik dalam Pasal 150 KUHP (WvS) hanya melekat unsur-unsur objektif, yakni : Pada waktu diselenggarakan suatu pemilihan berdasarakan suatu peraturan umum; Melakukan sesuatu tindakan yang sifatnya menipu; Hingga suara seorang pemilih menjadi tidak sah atau; Hingga orang lain daripada yang dimaksudkan oleh pemilih menjadi terpilih (, Hal., 373). Memakai Nama Orang Lain Untuk Ikut Dalam Pemilihan (Pasal 151 KUHP (WvS)) Delik dalam Pasal 151 KUHP (WvS) terdiri dari unsur-unsur : Unsur subjektif : opzettelijk atau dengan sengaja; Unsur-unsur objektif : Mengaku dirinya sebagai orang lain; Turut serta dalam suatu pemilihan yang diadakan berdasarkan suatu peraturan umum (, Hal., 377). Menggagalkan Pemungutan Suara Yang Telah Dilakukan atau Tipu Muslimat yang Menyebabkan Putusan Pemungutan Suara itu Lain Dari Yang Seharusnya (Pasal 152 KUHP (WvS)) Unsur-unsur delik dalam ketentuan Pasal 152 KUHP (WvS) adalah : Unsur subjektif : opzettelijk atau dengan sengaja; Unsur-unsur objektif : Pada waktu diadakan pemilihan berdasarkan aturan-aturan umum; Menggagalkan pemungutan suara yang telah diadakan; Melakukan sesuatu tindakan yang bersifat menipu; Yang menyebabkan putusan pemungutan suara itu lain; Lain dari yang seharusnya diperoleh berdasarkan kartu-kartu pemungutan suara yang masuk secara sah atau berdasarkan suara-suara yang dikeluarkan secara sah (, Hal., 382). Dilihat dari letak pasal-pasal ketentuan pidana yang berada di dalam KUHP (WvS) yaitu di Buku II Bab IV maka tindak pidana Pemilu/Pemilihan dianggap sebagai “kejahatan” (Perspektif KUHP (WvS)). Ketentuan-ketentuan tesebut, telah di adopsi dalam Peraturan Perundang-undangan Pemilu dan/atau Pemilihan (Undang-undang No. 8 Tahun 2012 Tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, Undang-undang Nomor 42 Tahun 2008 Tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden, dan Undang-undang Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota menjadi Undang-undang sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 8 Tahun 2015 Tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota menjadi Undang-undang) dengan rumusan norma yang lebih spesifik dan tegas dengan ancaman pidana yang disesuaikan perkembangan hukum pidana berdasarkan doktrin konsekuensi dari perbuatan pidana tersebut.


Selengkapnya
939

KOMISI PEMILIHAN UMUM SEBAGAI KOMISI NEGARA INDEPENDEN

KOMISI PEMILIHAN UMUM SEBAGAI KOMISI NEGARA INDEPENDEN (INDEPENDENT REGULATORY AGENCIES) DALAM SISTEM HUKUM KETATANEGARAAN INDONESIA   Oleh :   YUDDIN CHANDRA NAN ARIF, SH.MH.   (Divisi Hukum dan Pengawasan KPU Kabupaten Bima)   Perkembangan Pemikiran Konsep dan teori demokrasi di sejumlah negara, khususnya negara-negara yang telah mengalami proses transisi demokrasi dari otoriter ke demokratis, telah memunculkan berbagai terobosan pemikiran tentang paradigma pemerintahan yang progresif-responsif sebagai bentuk perkembangan baru dari konsep dan teori trias politica. Konkritisasi terobosan paradigma tersebut telah melahirkan berbagai organ-organ kekuasaan baru, baik yang sifatnya independen (independent regulatory agencies) maupun sebatas sampiran negara (state auxiliary agencies). Kemunculan organ-organ kekuasaan baru tersebut, jangan dipandang sebagai bentuk kegagalan ataupun pergeseran dari paradigma trias politica, tetapi harus dibaca sebagai bentuk penyesuaian diri negara dalam sistem yang progresif-responsif dan terbuka terhadap perkembangan alur sistem kenegaraan untuk dapat menfleksibelkan perubahan-perubahan hukum yang refleksifitasnya beriringan dengan perubahan-perubahan sosial politik menjadi sebuah realitas untuk mempertahankan stabilitas sistem menuju tertib politik hukum dalam kerangka pembenahan pengaturan trias politica. Hans Kelsen menggunakan istilah organ negara untuk menyebut lembaga negara. Menurutnya, barang siapa yang menjalankan suatu fungsi yang ditetapkan oleh tata hukum adalah suatu organ. (Hans Kelsen, 1995, Hal., 194). Banyak istilah untuk menyebut jenis organ-organ baru tersebut, diantaranya adalah state auxiliary institutions, state auxiliary organs yang apabila diterjemahkan secara harfiah ke dalam bahasa Indonesia berarti institusi atau organ negara penunjang. Istilah yang digunakan oleh para pakar dan sarjana hukum tata negara, cukup bervariatif, diantaranya menggunakan istilah “lembaga negara bantu”, “lembaga negara penunjang”, “lembaga negara independen” dan “komisi negara independen”. Perbedaan dalam penggunaan istilah tersebut, harus dilihat sebagai bentuk komitment dan konsistensi paradigma masing-masing yang perlu diapresiasi dengan menempatkannya sebagai bentuk penghargaan pemikiran dan toleransi paradigma terhadap terobosan-terobosan konsep dan teori yang wajib dipahami sebagai sebuah khasanah pada konteks keseimbangan (equilibrium) dalam pembenahan dan perubahan yang bersifat progresif-responsif. Terlepas dari persepesi-persepsi tersebut, tulisan ini lebih menggunakan istilah komisi negara independen (independent regulatory agencies) karena dianggap lebih tepat dan cocok dengan istilah Komisi Pemilihan Umum (KPU) serta setuju dengan pendapat yang dikemukankan oleh William F. Fox, Jr. sebagaimana dikutip oleh Titik Triwulan T. dan H. Ismu Gunadi Widodo bahwa komisi negara adalah bersifat independen bila dinyatakan secara tegas di dalam undang-undang. (Titik Triwulan T. dan H. Ismu Gunadi Widodo, 2003, Hal., 118). Kemudian William F. Funk dan Richard Hlm. Seamon memberikan penjelasan bahwa sifat independen dari suatu komisi terefleksikan dengan kepemimpinan yang bersifat kolektif. (Ibid., Hal., 118-119). Secara umum, pendefinisian istilah komisi negara independen (independent regulatory agencies) adalah organ negara (state organs) yang diidealkan independen, dan karenanya berada di luar cabang kekuasaan eksekutif, legislatif, maupun yudikatif, namun justru mempunyai fungsi campur sari ketiganya. (Jimly Asshiddiqie, 2003). Dalam bahasa Funk dan Seamon komisi independen itu tidak jarang mempunyai kekuasaan quasi legislative, executive power dan quasi judicial. (Titik Triwulan T. dan H. Ismu Gunadi Widodo, Op. Cit., Hal., 124-125). Kehadiran komisi-komisi negara atau dalam istilah sebagai administrative organ, telah mendominasi proses pembangunan hukum (legal development) di era modern ini. Khususnya dalam reformasi Konstitusi di beberapa negara yang mengalami proses transisi dari otoritarian ke domokrasi. Secara teoritis, organ-organ baru bermula dari kehendak negara untuk membuat lembaga negara baru yang pengisian anggotanya diambil dari unsur non-negara, diberi otoritas negara, dan dibiayai oleh negara tanpa harus menjadi pegawai negara. Gagasan komisi negara independen sebenarnya berawal dari keinginan negara yang sebelumnya kuat ketika berhadapan dengan masyarakat, rela untuk memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk mengawasi. Jadi, meskipun negara masih tetap kuat, ia diawasi oleh masyarakat sehingga tercipta akuntabilitas vertikal dan akuntabilitas horizontal. Munculnya komisi-komisi negara independen dimaksudkan pula untuk menjawab tuntutan masyarakat atas terciptanya prinsip-prinsip demokrasi dalam setiap penyelenggaraan pemerintahan melalui lembaga yang akuntabel, independen, serta dapat dipercaya. Selain itu, faktor lain yang memicu terbentuknya komisi negara independen adalah terdapatnya kecenderungan dalam teori administrasi kontemporer agar negara dapat menyesuaikan diri dengan sistem yang progresif-responsif dan terbuka terhadap perkembangan alur sistem kenegaraan dalam kerangka pembenahan pengaturan trias politica. Khusus di Indonesia, pembentukan organ-organ negara baru yang sifatnya independen (independent regulatory agencies) maupun sebatas sampiran negara (state auxiliary agencies) sangat dipengaruhi oleh beberapa hal sebagai berikut (Ni’matul Huda, 2007, Hal., 201-202) : Tiadanya kredibilitas lembaga-lembaga yang ada akibat asumsi dan bukti mengenai korupsi yang sistemik, mengakar dan sulit diberantas; Tidak independennya lembaga-lembaga yang ada karena salah satu atau lain halnya tunduk di bawah pengaruh satu kekuasaan negara atau kekuasaan lain; Ketidakmampuan lembaga-lembaga negara yang telah ada untuk melakukan tugas-tugas yang urgen dilakukan dalam masa transisi demokrasi karena persoalan birokrasi dan KKN; Pengaruh global dengan pembentukan yang dinamakan auxiliary state agencies atau watchdog institutions di banyak negara yang berada dalam situasi menuju demokrasi telah menjadi suatu keharusan sebagai alternatif dari lembaga-lembaga yang ada yang mungkin menjadi bagian dari sistem yang harus direformasi; Tekanan lembaga-lembaga internasional, tidak hanya menjadi prasyarat untuk memasuki pasar global, tetapi juga untuk membuat demokrasi sebagai satu-satunya jalan bagi negara-negara yang asalnya berada di bawah kekuasaan yang otoriter. Menjamurnya organ-organ baru tersebut, di Indonesia telah menjadi keniscayaan dalam perkembangan negara kekinian. Puncak awal perkembangan pemikiran tersebut di Indonesia lahir secara masif pasca runtuhnya kekuasaan rezim orde baru Presiden Soeharto (pasca reformasi Tahun 1998), yang kemudian dilegitimasikan melalui amandemen Konstitusi (UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 selanjutnya disingkat UUD 1945). Akan tetapi embrio pemikiran tentang pembentukan organ-organ tersebut sebenarnya sudah dimulai sejak pembentukan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) pada Tahun 1993. Meski di awal pendiriannya Komnas HAM masih rapuh secara politik maupun pijakan konstitusionalnya, yang hanya dibentuk dengan Keputusan Presiden (Keppres) No. 50 Tahun 1993, akan tetapi institusionalisasi Komnas HAM sebagai sebuah lembaga baru di luar organ kekuasaan pokok, telah menjadi pondasi dan pilot project bagi pembentukan-pembentukan lembaga-lembaga serupa lainnya yang kemudian menjadi fundament pemikiran yang menguat secara teori dan praxis di orde reformasi. Salah satu komisi-komisi negara independen yang lahir adalah Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang mengejawantahkan salah satu prinsip dan mekanisme demokrasi yaitu Pemilihan Umum (Pemilu).   Komisi Pemilihan Umum Sebagai Komisi Negara Independen (Independent Regulatory Agencies) Dalam Sistem Hukum Ketatanegaraan Indonesia Kelembagaan negara atau organ-organ negara adalah salah satu ranah hukum yang menjadi objek kajian dari Hukum Tata Negara. Organ-organ negara beserta kekuasaan dan fungsinya adalah hakikat dari Hukum Tata Negara itu sendiri. Secara kontemporer, kekuasaan dan pembagian lembaga negara dalam hukum ketatanegaraan Indonesia adalah sebagaimana dijelaskan oleh Titik Triwulan Tutik yang menyatakan bahwa UUD 1945 menetapkan 4 (empat) kekuasaan dan 7 (tujuh) lembaga negara, yakni (Titik Triwulan Tutik, 2008, Hal., 91) : Kekuasaan eksaminatif (inspektif) yaitu Badan Pemeriksa Keuangan; Kekuasaan legislatif yaitu Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) yang tersusun atas Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD); Kekuasaan eksekutif (pemerintahan negara) yaitu Presiden dan Wakil Presiden; Kekuasaan kehakiman (yudikatif) yaitu Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi; dan Lembaga negara bantu (the auxilary body). Secara umum, terdapat juga perspektif Hukum Tata Negara yang menyatakan bahwa sistem ketatatanegaraan Indonesia, UUD 1945 dengan jelas dan tegas membagi lembaga negara dalam 2 (dua) kelompok, yaitu : Lembaga negara utama (main state organs) dan; Lembaga negara bantu (state auxiliary bodies), baik yang sifatnya independen (independent regulatory agencies) maupun sebatas sampiran negara (state auxiliary agencies). Cabang-cabang kekuasaan negara dalam bidang legislatif, eksekutif dan yudikatif yang tercermin dalam fungsi-fungsi MPR, DPR, dan DPD, Presiden dan Wakil Presiden, serta Mahkamah Agung (MA), Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), dan Mahkamah Konstitusi (MK) sebagai lembaga-lembaga negara yang utama (main state organs,principal state organs). Lembaga-lembaga negara dimaksud itulah yang secara instrumental mencerminkan pelembagaan fungsi-fungsi kekuasaan negara yang utama (main state functions, principal state functions), sehingga lembaga-lembaga negara itu pula yang dapat disebut sebagai lembaga negara utama (main state organs, principal state organs, atau main state institutions) yang hubunganya satu dengan yang lain diikat oleh prinsip check and balances. (Putusan Nomor 005/PUU-IV/2000 Tentang Judicial Review terhadap Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 Tentang Komisi Yudisial). Lembaga-lembaga negara yang bersifat utama, atau yang biasa disebut sebagai lembaga tinggi negara seperti dimaksud di atas, dalam UUD 1945 juga diatur lembaga-lembaga negara yang bersifat konstitusional lainnya seperti Kementerian Negara, Pemerintah Daerah, Komisi Yudisial, Kepolisian Negara, Tentara Nasional Indonesia, Bank Sentral, Komisi Pemilihan Umum, dan Dewan Pertimbangan Presiden. Namun pengaturan lembaga-lembaga negara tersebut dalam UUD 1945, tidaklah dengan sendirinya mengakibatkan lembaga-lembaga negara yang disebutkan dalam UUD 1945 tersebut (termasuk Komisi Pemilihan Umum), harus dipahami dalam pengertian lembaga (tinggi negara) sebagai lembaga utama (main organs). (dapat dilihat gambar di bawah). Kehadiran lembaga negara bantu (state auxiliary bodies), baik yang sifatnya independen (independent regulatory agencies) maupun sebatas sampiran negara (state auxiliary agencies) tidak dibentuk dengan dasar hukum yang seragam. Beberapa diantaranya berdiri atas amanat Konstitusi (constitutionally entrusted power) sebagaimana tersebut di atas, tetapi ada pula yang memperoleh legitimasi berdasarkan undang-undang (legislatively entrusted power) ataupun keputusan presiden. Keberadaan Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebagai komisi negara independen (independent regulatory agencies) merupakan lembaga negara yang menyelenggarakan Pemilihan Umum di Indonesia yang ditegaskan dalam Pasal 22E Konstitusi/UUD 1945 yang kemudian diatur lebih lanjut dengan beberapa undang-undang, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2011 Tentang Penyelenggara Pemilihan Umum. Sebelum Pemilu 2004, KPU dapat terdiri dari anggota-anggota yang merupakan anggota sebuah partai politik berdasarkan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1999 Tentang Pemilihan Umum, namun setelah dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2000 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1999 Tentang Pemilihan Umum, maka diharuskan anggota KPU adalah non-partisan dan independen. Artinya bahwa keberadaan Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebagai komisi negara independen (independent regulatory agencies) yang diatur dalam Konstitusi dan dijabarkan lebih lanjut dengan undang-undang dikuatkan oleh pendapatnya Jimly Asshiddiqie yang menyatakan bahwa kelembagaan negara di tingkat pusat dibedakan dalam 4 (empat) tingkatan kelembagaan, yaitu (Jimly Asshiddiqie, 2006, Hal., 50) : Lembaga yang dibentuk berdasarkan UUD yang diatur dan ditentukan lebih lanjut dalam atau dengan Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden dan Keputusan Presiden; Lembaga yang dibentuk berdasarkan Undang-Undang yang diatur dan ditentukan lebih lanjut dalam atau dengan Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden dan Keputusan Presiden; Lembaga yang dibentuk berdasarkan Peraturan Pemerintah atau Peraturan Presiden yang ditentukan lebih lanjut dengan Keputusan Presiden; Lembaga yang dibentuk berdasarkan Peraturan Menteri yang ditentukan lebih lanjut dengan Keputusan Menteri atau Keputusan Pejabat di bawah Menteri. Hal ini menunjukkan dan menegaskan bahwa keberadaan Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebagai komisi negara independen (independent regulatory agencies) berada pada tingkatan kelembagaan yang kuat dikarenakan pembentukaannya berdasarkan UUD yang diatur dan ditentukan lebih lanjut dalam atau dengan Undang-Undang yang artinya kelembagaan Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebagai kelembagaan negara bantu (state auxiliary bodies) yang independen (independent regulatory agencies) pada tingkatan Konstitusi, dengan catatan bahwa perlakuannya tidak bisa disamakan dengan lembaga negara utama (main state organs) seperti yang dijelaskan di atas. Sehingga kedudukan Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebagai lembaga negara ditinjau menurut fungsi kelembagaan merupakan lembaga penunjang (auxliary state organ) dalam ranah kekuasaan eksekutif yang secara hierarkis kelembagaan Komisi Pemilihan Umum (KPU) merupakan organ lapis kedua (lembaga negara bantu (state auxiliary bodies) yang sifatnya independen (independent regulatory agencies). Lihat gambar berikut :     Konstruksi logika hukumnya dari perspektif Hukum Tata Negara adalah sebagai berikut :   Landasan filosofis, bahwa Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebagai komisi negara independen (independent regulatory agencies) tentunya dapat dilihat dari nilai-nilai Pancasila baik sebagai filsafat hidup (Weltanschaung, Volksgeist), maupun sebagai dasar negara dan ideologi negara, ideologi nasional yang berfungsi sebagai jiwa bangsa dan jati diri nasional. Esensinya bahwa Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebagai penyelenggara Pemilu dari kesejarahan tetap diakui dan legitimate dari Tahun 1955 sampai dengan Pemilu Tahun 2014, walaupun dengan berbagai perubahan penyebutan nama. Segi yuridis konstitusional diatur dalam Pasal 22E ayat (5) UUD 1945, kemudian dikuatkan dengan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2011 Tentang Penyelenggara Pemilihan Umum (sebagaimana telah dijelaskan di atas) yang di dalamnya diatur cakupan mengenai kedudukan, tugas, fungsi, hubungan dan kewenangan serta pertanggungjawaban Komisi Pemilihan Umum (KPU) terhadap penyelenggaraan Pemilu. Eksistensi Komisi Pemilihan Umum (KPU) dalam sistem Pemilu berdasarkan UUD 1945, yaitu menyangkut problematika yang dihadapi KPU di Indonesia, konstruksi kewenangan dan tugas Komisi Pemilihan Umum (KPU) dalam mewujudkan kedaulatan rakyat dan pemerintahan yang demokratis, kontribusi keberadaan Komisi Pemilihan Umum (KPU) dalam menunjang upaya pelaksanaan Pemilu menuju terwujudnya kedaulatan rakyat dan pemerintahan yang demokratis. Sistem hirarkis Komisi Pemilihan Umum (KPU), Komisi Pemilihan Umum (KPU) Provinsi dan Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kabupaten/Kota yang diatur secara tegas dalam peraturan perundangan (Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2011 Tentang Penyelenggara Pemilihan Umum) yang menguatkan sistem kelembagaan Komisi Pemilihan Umum (KPU) secara nasional, mandiri, non-partisan dan independen.       Kesimpulan   Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebagai komisi negara independen (independent regulatory agencies) merupakan lembaga negara yang menyelenggarakan Pemilihan Umum di Indonesia yang ditegaskan dalam Pasal 22E Konstitusi/UUD 1945 yang kemudian diatur lebih lanjut dengan beberapa undang-undang, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2011 Tentang Penyelenggara Pemilihan Umum. Hal ini menunjukkan dan menegaskan bahwa keberadaan Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebagai komisi negara independen (independent regulatory agencies) berada pada tingkatan kelembagaan yang kuat dikarenakan pembentukaannya berdasarkan UUD yang diatur dan ditentukan lebih lanjut dalam atau dengan Undang-Undang yang artinya kelembagaan Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebagai kelembagaan negara bantu (state auxiliary bodies) yang independen (independent regulatory agencies) pada tingkatan Konstitusi, dengan catatan bahwa perlakuannya tidak bisa disamakan dengan lembaga negara utama (main state organs).   Sehingga kelembagaan Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebagai lembaga negara bantu (state auxiliary bodies) yang independen (independent regulatory agencies) dalam sistem Hukum Ketatanegaraan Indonesia dapat dilihat dari perspektif hukum yang didasarkan pada landasan filosofis, landasan yuridis konstitusional, esensi dari eksistensinya, sistem hirarkisnya serta sifatnya yang nasional, mandiri, non-partisan dan independen.           DAFTAR PUSTAKA       Hans Kelsen, Teori Hukum Murni Dasar-Dasar Ilmu Hukum Normatif sebagai Ilmu Hukum Empirik-Deskriptif (terj.) oleh Somardi, Rimdi Pers, Jakarta, 1995.   Jimly Asshiddiqie, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi, Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, Jakarta, 2006.   ----------------------, Struktur Ketatanegaraan Indonesia Setelah Perubahan Keempat UUD Tahun 1945, Makalah dalam Seminar Pembangunan Hukum Nasional VIII, Denpasar 14-18 Juli 2003.   Lili Rasjidi, et.al., Dasar-Dasar Filsafat dan Teori Hukum, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, Cetakan Kesepuluh, 2007.   Munir Fuady, Teori Negara Hukum Modern (Rechtstaat), PT. Rafika Aditama, Bandung, Cetakan Pertama, 2009.   Ni’matul Huda, Lembaga Negara Dalam Masa Transisi Demokrasi, UII Press, Yogyakarta, 2007.   Ramlan Subakti, et.al., Perekayasaan Sistem Pemilihan Umum, Untuk Pembangunan Tata Politik Demokkratis, Kemitraan Partnership, Jakarta, Cetakan Pertama, 2008.   Titik Triwulan T. dan H. Ismu Gunadi Widodo, Hukum Tata Usaha Negara dan Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara Indonesia, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2003.   Titik Triwulan Tutik, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesai Pascaamandemen UUD 1945, Cerdas Pustaka Publisher, Jakarta, 2008.   Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.   Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1999 Tentang Pemilihan Umum.   Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2000 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1999 Tentang Pemilihan Umum.   Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2011 Tentang Penyelenggara Pemilihan Umum.   Putusan Nomor 005/PUU-IV/2000 Tentang Judicial Review Terhadap Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 Tentang Komisi Yudisial.


Selengkapnya
652

Ibu dan Hari Ibu

Oleh SITI NURSUSILA,S.IP.,M.MSip Kecuali Adam dan Hawa, semua kita hadir ke dunia ini melalui jalan yang sama, yaitu dilahirkan oleh orang yang kita panggil dengan sebutan ibu. Peran ibu dalam kehidupan kita tak dapat dinilai dengan apapun yang kita miliki, bahkan pada hakekatnya kita dengan segala kehidupan dan kekayaan kita adalah milik ibu kita. Ibu bukan saja sebagai penyebab dan jalan yang mengantarkan kita hadir ke dunia, tetapi juga merupakan orang yang paling kita repotkan ketika kita masih kecil dan paling tulus memotivasi dan mendoakan kita setelah kita menjadi remaja dan dewasa. Itulah sebabnya tiada agama yang kita yakini yang tidak mengajarkan untuk berbakti kepada ibu, demikian juga tiada nilai-nilai moral, etika, kesopanan, kesusilaan yang tumbuh bersama kesejarahan peradaban manusia yang tidak meletakan ibu pada posisi yang mulia dan dihormati. Peran penting dan strategis seorang ibu dalam kehidupan setiap orang ini sudah sejak lama telah menumbuhkan kesadaran kolektif masyarakat duania, sehingga hampir semua Negara di dunia ini telah menetapkan satu hari dari 360 hari dalam setahun sebagai hari khusus bagi setiap pribadi untuk merenungi jasa-jasa dan kemuliaan orang yang telah melahirkannya itu. Dalam prakteknya setiap orang memiliki cara sendiri-sendiri dalam memaknai hari ibu, mulai dari sekedar mengucapkan selamat hari ibu, memberikan ibunya bunga atau kado khusus, mengajaknya jalan-jalan atau berbelanja dan lain sebagainya. Di Negara kita, hari ibu diperingati setiap tanggal 22 Desember. Kalau kita perhatikan sejarahnya, penetapan hari ibu tersebut pertama kali diputuskan oleh para perempuan yang tergabung dalam organisasi Perempuan Indonesia, yaitu pada konggres perempuan Indonesia III tahun 1938. Sedangkan organisasi perempuang itu sendiri sudah ada sejak tahun 1912 yang diilhami oleh para pejuang-pejuang perempuan nasional, seperti M. Crinstina Tiahahu, Cut Nya Dien, Cut Mutia, R.A. Kartini, Dewi Sartika, Nyai Ahmad Dahlan, Rangkayo Rasuna Said dan lain-lain. Selanjutnya hari ibu ditetapkan sebagai hari Nasional oleh Presiden Soekarno melalui dekrit Presiden No. 316 tahun 1959. Memperhatikan aspek kesejarahannya tersebut maka pada hakekatnya hari ibu di Indonesia bukan saja bermakna sebagai hari untuk merenungi jasa dan memuliakan ibu, tetapi juga mengandung makna semangat perjuangan perempuan. Dengan demikian Hari Ibu di Indonesia memiliki makna ganda, yaitu hari bagi anak untuk merenungi jasa dan memuliakan ibu sekaligus juga hari bagi para ibu dan para perempuan umumnya yang merupakan calon ibu untuk merenungi dan melakukan otokritik, sudahkan mengisi kemerdekaan ini dengan sebaik-baiknya seperti harapan para perempuan pencetus hari ibu itu, minimal dalam perannya sebagai ibu rumah tangga, sebagai isteri bagi suaminya dan sebagai ibu dari anak-anaknya? Menjadi ibu tentu tidak semudah menjadi ayah, apalagi menjadi anak. Menjadi ayah tinggal berusaha bekerja untuk memenuhi segala kebutuhan rumah tangganya dengan penghasilan yang halal. Sedangngkan menjadi anak tinggal menikmati kasih sayang dan materi dari ibu dan ayah, dan pada gilirannya membalas kasih sayang dan materi itu dengan berbakti kepada keduanya. Tetapi menjadi ibu, selain harus menderita mengandung dan melahirkan anak, ia juga merupakan orang yang paling dekat dengan anak dan oleh karena itu paling bertangungjawab terhadap pembentukan karakter dasar sang anak melalui pendidikan dalam keluarga. Para ibu perlu menyadari bahwa apapun bentuk perlakukan ibu terhadap sang anak maka itu akan membentuk kepribadiannya. Jika sikap kasar yang ibu berikan maka ia akan tumbuh menjadi pribadi yang kasar pula. Sebaliknya jika sikap lemah lembut yang ibu berikan maka ia akan tumbuh menjadi pribadi yang lemah lembut pula. Oleh karena itu tumbuhkanlah kebiasaan-kebiasaan positif di rumah tangga ibu, ucapkan kata “aku sayang kamu” kepada sang anak sesering mungkin dan ajarilah mereka untuk membalasnya dengan ucapan yang sama. Para ibu juga perlu menyadari bahwa anak yang dilahirkannya bukan saja sekedar amanah Allah yang dititipkan yang harus dijaga dan dirawat dengan sebaik-baiknya, tetapi juga merupakan asset Negara yang tidak ternilai pentingnya, karena setiap anak adalah calon pemimpin bangsa ini di masa depan. Di sinilah relevansi pernyataan Bungkarno bahwa perempuan itu merupakan tiangnya Negara. Sebaliknya karena setiap kita merupakan anak yang dilahirkan oleh ibu, dan setiap ibu adalah perempuan, maka semangat hari ibu meliputi pula penghargaan terhadap eksistesi perempuan pada umumnya. Penghargaan suami terhadap isteri-isterinya, laki-laki terhadap pacar atau kekasihnya dan seterusnya. Ingatlah bahwa setiap laki-laki tidak akan bisa hidup tenang dan bahagia tanpa kehadiran perempuan sebagaimana Adam hidup gelisah dan tidak bahagia sebelum kehadiran Hawa. Oleh karena itu perlakukanlah isteri-isterimu dengan baik karena dia telah melahirkan anak-anakmu sama seperti ibumu melahirkan kamu. Demikian pula bagi setiap laki-laki terhadap pacar atau kekasihnya, perlakukan mereka dengan baik karena kelak dia akan berfungsi seperti ibumu, yaitu melahirkan anak-anak yang akan melanjutkan keturunanmu. Semoga di masa depan tidak aka ada lagi cerita tentang Kekerasan dalam rumah Tangga (KDRT) dan tidak ada lagi kisah sedih pacaran atau pertunangan yang kandas namun melahirkan anak yang tidak diharapkan dengan segala implikasinya di bidang soaial dan hukum. Aamiin. (tulisan ini dimuat terakhir pada tanggal 23 Desember 2014 pada kolom Opini koran Radar Tambora).


Selengkapnya